Minggu, 01 April 2012

Fenomena Guru Saat Ini

Anggota Kelompok:
09-013 Dwika Septian Ihsan
10-024 Nadya Putri Delwis
10-036 Melva Safira

"Pahlawan tanpa tanda jasa"
Apa yang terlintas di fikiran kita saat membaca statement tersebut..??
:)
Yup, dengan tersenyum kita akan menjawab "Guru", kita akan seketika teringat akan sosok seorang guru, seorang yang keras tapi penyayang (berdasarkan pengalaman pribadi), disiplin, hangat, ceria, humoris, kaku, merasa benar juga ada, metodologis, killer dan berbagai macam sosok guru yang terlintas di fikiran kita tergantung paradigma masing-masing.
Sebenarnya kami agak bingung dengan slogan seperti itu, sejak kapan sebutan itu melekat pada citra seorang guru. Penuh ambiguitas, dan sayangnya kami (maksudnya saya secara pribadi) mencernanya dengan negatif. Tapi ya sudah lah, kami bukan ingin mengupas hal tersebut.
Mungkin dari berbagai kata mata pemikiran kita masing-masing, terdapat banyak mungkin perbedaan dalam menginterpretasikan guru. 

Kenapa sosok guru yang dulu menjadi tidak tampak saat ini? Guru tidak lagi jadi panutan dan lebih ke pada seorang pelayan?

                Kalau kita membalik buku sejarah beberapa tahun kebelakang, tergambarlah sosok guru yang jauh dari fenomena seperti sekarang ini. Guru dulu lebih cenderung seperti seorang relawan dalam memberantas kebodohan dan memperbaiki akhlak masyarakat di sekitarnya. Guru dulu sangat dipandang, memiliki kharismatik di masyarakat, dan merupakan tokoh cendekia, salah satu agen perubahan bagi lingkungannya. Guru tidak hanya sebagai pendidik, tapi juga sebagai seorang motivator yang selalu mem-brainstorming pemikiran-pemikiran peserta didiknya bahkan masyarakat pada umumnya.

                Sangat ironis memang dibandingkan saat ini. Guru tidak begitu dihargai lagi sebagai bagian dari cendekiawan masyarakat, tapi lebih kepada seragam yang dia gunakan. Sehingga pemikiran saat ini membelok dari kesadaran akan pendidikan menjadi pengharapan akan prestasi dan status sosial. Sejalan dengan itu tuntutan dari ide-ide ideal dari pemerintah (Depdiknas)—yang bermunculan hampir bersamaan; seperti halnya dulu ada PAKEM, Pembelajaran Portofolio, Kontekstual, dan Pembelajaran Model Quantum, menciptakan nuansa “kebingungan” di kalangan guru, sehingga secara tidak langsung menciptakan kejenuhan dan banyak sedikit akan berimbas kepada motivasi guru terkait kesadaran akan pendidikan. Belum lagi berbagai macam kurikulum yang coba-coba dan selalu berubah-ubah dalam rentang waktu yang singkat.

                Menjadi tenaga pengajar yang kompeten memang menjadi harapan saat ini. Pemerintah pun melakukan berbagai intensif, salah satunya adalah sertifikasi guru. Dengan intensif kenaikan gaji 100% bahkan lebih diharapkan guru menjadi semakin kompeten dan bergairah dalam menjalankan tugas. Akan tetapi hal ini malah mendoktrin timbulnya dua motif; motif ekonomi dan motif psikologis. Motif ekonomi menyebabkan guru berorientasi kepada gaji yang didapat ditambah adanya jaminan hidup. Dan motif psikologis yang mengajari guru berorientasi akan prestasi dan jabatan dalam internal institusi. Guru memang mengalami peningkatan dalam presatasi secara administratif, tapi juga menciptakan paradigma baru—menjadi guru (PNS) dapat menjamin kehidupan anak dan masa tua, motif-motif ini lah sebagai pemicu kompetisi berprestasi, tapi sayang bukan sebagai relawan yang mendedikasikan prestasinya untuk pendidikan, tapi terlebih kepada jabatan, status yang tinggi, dan pemenuhan kebutuhan hidup apalagi dimasa konsumtif seperti saat ini.

Sehingga muncul lah guru-guru yang terlalu menuntut prestasi kepada siswanya, dari pada membuat mereka mengerti akan pelajaran tersebut. Tak jarang juga banyak guru yang mahir dalam konsep tapi bingung dalam praktis, pada student centered learning misalnya, jika guru kurang bisa mengontrol proses pembelajaran, tak jarang kemungkinan siswa menjadi kurang menghargai guru. Terkadang guru memang agak ketinggalan jauh tentang perkembangan teknologi yang semakin modern, dibandingkan siswanya sendiri, sehingga siswa yang cenderung lebih upgrade merasa kurang motivasi untuk belajar. Hal ini banyak terjadi pada guru yang sudah agak berumur dan susah untuk di rubah mindset-nya.

Sebenarnya masalah terbesar adalah kurangnya kesadaran akan image seorang guru baik dari masyarakat maupun dari guru itu sendiri. Menjadi guru merupakan pekerjaan sepele bagi masyarakat saat ini, kalau dulu guru menjadi panutan, sekarang tidak begitu dipandang. Sebagai pemikir dalam masyarakat, guru mulai tidak begitu diperhitungkan. Kurangnya kesadaran ini menuntut professionalitas guru bergeser menjadi pelayan masyarakat. Sehingga tidak jarang banyak kasus pengaduan tindak kekerasan guru terhadap siswa menjadi hal yang sudah biasa, dan dirasa perlu bagi masyarakat agar guru tidak semena-mena terhadap anaknya. Kalau kita flashback kepada kenyataan guru di masa lalu, orang tua sangat mempercayakan anak mereka sepenuhnya kepada guru. Guru lah tempat anaknya belajar berperilaku dan berfikir, menjadi orang yang baik di masyarakat. Metode punishment yang dilakukan oleh sang guru malah mendapat dukungan dari orang tua. Akan tetapi dulu memang kebanyakan guru memiliki kredibilitas dalam mendidik siswa dengan etika yang baik.

Tuntutan modernisasi juga sangat mempengaruhi, apalagi indonesia yang sarat akan pengaruh budaya luar, baik timur maupun barat dan berbagai trend masa kini. Budaya barat yang banyak mengajarkan individualisme, menjadikan anak-anak bersikap mandiri, memiliki prinsip dan setting pemikiran sendiri. Budaya timur yang kaya akan aturan, norma, dan etika yang mengajarkan cara bersikap yang baik dalam kebersamaan. Dan trend yang mengajari lifestyle, mode, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut menuntut kita—tidak hanya guru tapi juga masyarakat, agar dapat melihat dengan kaca mata positif agar tuntutan modernisasi tidak merugikan terlebih dalam ranah pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar